Demo Blog

ADAB ISTINJA MERUJUK PADA SUNAH RASULULLAH SAW

by Tentang blog on Nov.22, 2009, under



Istinja adalah hal sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari baik itu buang air kecil (BAK) ataupun buang air besar (BAB). Akan tetapi umat islam sendiri telah banyak meninggalkan adab-adab yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW. Padahal Islam telah mengatur semua hal termasuk istinja ini.
Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman Al Farisi radhiallahu 'anhu: “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat”. Salman menjawab: “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat”. (HR. Muslim no. 262)
Perihal istinja ini sangatlah penting karena menyangkut semua amal ibadah yang di lakukan setelahnya, sebagai gambaran.
Apakah sah apabila kita sholat tanpa wudhu???
Lalu apakah sah wudhu kita bila istinja kita tidak bersih???
Berdoa sebelum membuang hajat
Bismillah, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Bismillah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan lelaki dan setan wanita).”
Dari Ali -radhiallahu anhu- secara marfu’, “Penghalang antara jin dengan aurat anak Adam -ketika dia masuk ke dalam wc- adalah dengan membaca ‘bismillah’.” (HR. Ibnu Majah) Adapun doa “Allahumma inni …,” sampai akhir maka dari hadits Anas riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Kalau seseorang membuang air di selain bangunan (misalnya di hutan atau padang pasir), maka doa ini dibaca ketika awal kali dia membuka auratnya. Lihat Subulus Salam: 1/289 dan Manarus Sabil: 1/38-39
Sementara apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan mereka mengatakan kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)
Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Al Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268).

Hadits di atas menunjukkan keumuman, namun khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam,
Buang hajat dalam keadaan jongkok
Rasulullah SAW pernah melewati dua kuburan, maka beliau mengabarkan:
“Dua penghuni kuburan ini sedang diadzab. Tidaklah mereka diadzab karena perkara yang besar. Kemudian Rasulullah mengatakan: Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diadzab karena tidak berhati-hati/ tidak menjaga dirinya dari kencing…”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz Al-Bukhari)

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan hal yang bersangkutan dengan hadist ini : “Kedua penghuni kuburan itu tidaklah diadzab karena perkara yang sulit untuk menghilangkannya atau untuk mencegahnya serta berhati-hati darinya. Yakni perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang menjaga diri darinya.” Beliau juga berkata: “Dua perkara ini termasuk dosa besar.” (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)
Hal ini di mungkinkan karena kurang berhati-hati dalam ber istinja sehingga kita membawa najis itu, bahkan dalam ibadah kita. Sebagai contoh jika kita tengah menunaikan hajat kecil (BAK) tanpa di sadari air seni kita menciprat kekai dan pakaian kita. Untuk menghindari itu para ulama berpendapat bahwa BAK dilakukan dengan cara berjongkok.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing. Al-Hasan berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau selebar-lebarnya sehingga kami menduga pangkal paha beliau akan terlepas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 1/500)
Dari Aisyah ra. berkata, “Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing berdiri, maka jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri.” (HR Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih)
hal lain yang di contohkan oleh Rasulullah adalah
Tidak Berbicara
Tidaklah pantas seseorang ketika membuang hajatnya berbicar kecuali dalam keadaan terpaksa. Termasuk pembicaraan yang dilarang di sini adalah menjawab salam dan ucapan dzikir lainnya. Berkata Al-Baghawi rahimahullah dalam Syarhus Sunnah: “Bila seseorang bersin dalam keadaan ia sedang buang hajat maka ia mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) di dalam hati”. Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya`bi, An-Nakha`i dan Ibnul Mubarak. Larangan berdzikir di sini merupakan larangan makruh dengan kesepakatan yang ada. Ibnul Mundzir menghikayatkan makruhnya hal ini dari Ibnu Abbas, ‘Atha, Ikrimah, An-Nakha`i dan Ibnu Sirin. Ibnul Mundzir juga mengatakan: “Meninggalkan dzikir ketika buang hajat lebih aku sukai namun aku tidak menganggap berdosa orang yang melakukannya.” (Al-Majmu’, 2/108, Al-Furu’, 1/84)
Larangan Istinja’ dengan Tangan Kanan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya:
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’. Dan ulama sepakat dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram”. Kemudian beliau berkata: “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh”. (Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)
Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang telah Mengering/Membatu (Rautsah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta kepada Abu Hurairah radiallahuanhu untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau dan beliau bersabda:
“Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.” (Shahih, HR. Al- Bukhari no. 155)

Di waktu yang lain Abdullah bin Mas‘ud radiallahuanhu pernah diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar mencari tiga batu untuk bersuci namun ia hanya mendapatkan dua batu hingga ia mengambil rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi. Maka beliau mengambil dua batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata: “Ini adalah kotoran”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 156)

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah: “Tidak boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Dan bersuci dengan keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu dan hal ini merupakan pendapatnya Ats-Tsauri, Asy- Syafi’i dan Ishaq.” (Al-Mughni, 1/104)

Doa Keluar dari Tempat Buang Hajat

“Aku memohon pengampunan-Mu” (HR. At-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)

Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kecocokan doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa maka dia meminta kepada Allah agar meringankan dosanya dan mengampuninya sebagaimana Allah telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/84).

Di samping itu, kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa makanan, minuman dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kepentingannya sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)

Tempat Terlarang untuk Buang Hajat
Air yang tidak mengalir

“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)

Yang rajih dari larangan di sini adalah menunjukkan keharamannya. Sama saja air yang tidak mengalir itu banyak ataupun sedikit, kencing ataupun buang air besar karena buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Dan juga perkara yang terlarang dalam permasalahan ini apabila seseorang kencing di dalam bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi, terlebih lagi bila air yang mengalir itu sedikit. (Syarah Shahih Muslim, 3/187-188, Subulus Salam, 1/34-35)

Lubang
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang sebagai tempat persembunyiannya)”. (HR. Ahmad no. 19847 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/499)

Qatadah rahimahullah, salah seorang rawi hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di atas. Qatadah pun menjawab: “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggalnya jin”1. (Al Jami`ush Shahih, 1/499)

Jalan yang dilewati manusia dan tempat mereka bernaung
“Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia)”. Para shahabat bertanya: “Apa yang dimaksud dengan dua orang yang dilaknat?”. Beliau menjawab: “Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia2 atau di tempat yang biasa mereka bernaung”. (Shahih, HR. Muslim no. 269)

Al-Khaththabi rahimahullah dan selainnya dari kalangan ulama berkata: “Yang dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ”. (Syarah Shahih Muslim, 3/163)

Buang hajat di tempat demikian dilarang karena hal itu mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan mengotori tempat lalu lalang mereka. (Syarah Shahih Muslim, 3/163). Sementara memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan. (Ad-Darari, 24, Asy-Syarhul Mumti‘, 1/102)

Ada lagi tempat-tempat terlarang yang lainnya untuk buang hajat seperti di mata air atau sungai yang digunakan oleh manusia untuk air minum dan wudhu, di bawah pohon yang sedang berbuah walaupun tidak digunakan untuk bernaung, dan di sisi sungai yang mengalir, serta di pintu-pintu masjid. Namun hadits yang menyebutkan tempat-tempat tersebut semuanya lemah, hanya saja yang menjadi patokan kita adalah tidak boleh memberikan gangguan kepada manusia sehingga kita harus menghindar dari buang hajat di tempat-tempat mana saja yang biasa dimanfaatkan oleh mereka. (Bulughul Maram, 41, Subulus Salam, 1/117, Al-Furu’, 1/86)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Sumber :
al-atsariyyah.com
asysyariah.com
dengan beberapa perubahan

JIKA ADA KESALAHAN MOHON DI KOREKSI


JAUHKAN PERDEBATAN, REKATKAN UKUWAH ISLAMIYAH.
0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

JIKA ADA KESALAHAN MOHON DI KOREKSI
JAUHKAN PERDEBATAN, REKATKAN UKUWAH ISLAMIYAH.
silahkan anda copy paste isi dari blog ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!